TANGERANG, Poskota.online – Di usia 59 tahun Ir.H.Mardiyana, MM, P.hD, DBA makin mantap meniti karir didunia pendidikan, Kesuksesan sebuah kata yang sering kali tampak seperti fatamorgana. Nyatanya, ia bukan hadiah yang turun dari langit, melainkan sebuah jalan panjang yang dipenuhi ombak dan duri. Jalan itu pula yang ditempuh oleh dirinya sebagai Rektor Universitas Tangerang Raya (UNTARA), sekaligus founder Universitas Pelita Bangsa dan Universitas Tangerang Raya, seorang pria yang mengukir takdirnya sendiri.

*Di Bawah Langit Kota Gudeg*
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kisah itu bermula di Klaten. Pada tahun 1985, Mardiyana, seorang anak dari keluarga sederhana, menjejakkan kaki di Jurusan Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada (UGM) lewat jalur PMDK.
Momen itu, ibarat sebuah keajaiban yang menyebar dari mulut ke mulut, menggetarkan seisi kampung. Terutama, karena ayahnya, seorang buta huruf, tak pernah membayangkan putranya bisa melangkah sejauh itu.
“Waktu itu, warga heboh. Saya, anak tukang penjual tali dadung, bisa masuk universitas favorit,” kenangnya.
Namun, mimpi itu datang dengan tantangan. Jarak yang memisahkan ia dari rumah membuatnya harus hidup merantau. Di sebuah kos sederhana, Mardiyana harus berhitung dengan cermat.
Uang saku yang minim, hasil jerih payah orang tua yang rela menjual gabah demi mimpinya, harus ia olah menjadi pelita untuk menerangi jalannya. Setiap hari, ia memasak nasi dari beras yang dibawa dari rumah, lalu memadukannya dengan sebutir telur goreng. Barulah sore hari, ia membeli sepotong lauk, sekadar pengisi perut.

*Sebuah Sepeda dan Kemerdekaan Finansial*
Tahun kedua kuliah, takdir tersenyum padanya. Beasiswa dari Yayasan Soemantri Brodjonegoro datang sebagai angin segar, meringankan beban keluarga. Sejak saat itu, Mardiyana tidak lagi meminta.
Ia membeli sebuah sepeda balap bekas, yang kemudian menjadi sayapnya untuk terbang, mengajar les privat dari satu tempat ke tempat lain. Demikianlah, dari keringatnya sendiri, ia membiayai studinya hingga tuntas.
Lulus tahun 1990, ia mengabdikan diri sebagai dosen di Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Di sana, ia mendengarkan cerita para pendiri universitas, yang menuturkan bahwa perguruan tinggi ibarat lumpur, sumber rezeki yang tak pernah kering. Bisikan itu, perlahan-lahan, menjelma menjadi sebuah tekad baja.
*Menanam Benih Impian di Ibu Kota*
Tahun 1997, Mardiyana pindah ke Jakarta, mengejar mimpinya. Di kota yang penuh hiruk pikuk itu, ia mulai menanam benih-benih harapan. Dari situlah, ia mendirikan Universitas Pelita Bangsa (UPB), yang kini telah tumbuh menjadi hutan pendidikan dengan sekitar 15.000 mahasiswa.
Tak berhenti di situ, pada tahun 2020, ia mendirikan Universitas Tangerang Raya (UNTARA). Sebuah universitas baru, yang ia ibaratkan sebagai mercusuar ilmu, siap menerangi jalan bagi para pencari ilmu. Kini, dengan 16 program studi dari tiga fakultas, UNTARA menjadi bukti nyata dari sebuah mimpi yang terwujud.

Mardiyana tidak hanya membangun gedung, ia juga menabur harapan. Ia percaya, pendidikan adalah jembatan yang menghubungkan kemiskinan dengan kesejahteraan. Oleh karena itu, ia berjuang memberikan biaya kuliah yang terjangkau, agar tak ada lagi anak bangsa yang harus berhenti bermimpi.
Prinsip hidupnya, “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain,” Ucapnya saat merayakan milad ke-59 yang dirayakan di ruang meeting kampus UNTARA, Rabu (06/08/2025) dihadiri pejabat struktural UNTARA. (Aries/Humas)






