Pemalang, Jawa Tengah — (10 Oktober 2025)
Isu mengenai keberadaan lokalisasi dan praktik prostitusi di Kabupaten Pemalang kembali mencuat ke publik dan menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Berbagai elemen, termasuk ormas dan jurnalis lokal, menyoroti dampaknya terhadap lingkungan sosial sekitar.
Untuk memperoleh pandangan dari pihak legislatif, tim awak media menyambangi Gedung DPRD Kabupaten Pemalang dan berkesempatan mewawancarai Wakil Ketua DPRD Pemalang, Aris Ismail, S.A.P, dari Fraksi Golkar.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam keterangannya, Aris Ismail menegaskan bahwa upaya penertiban terhadap lokalisasi dan praktik prostitusi sebaiknya dilakukan secara manusiawi dan terukur, bukan dengan tindakan represif yang dapat melukai martabat kemanusiaan.
“Dalam kegiatan operasi Satpol PP terhadap warung remang-remang, seharusnya pendekatan yang digunakan bersifat humanis. Mereka bisa dipanggil, diberikan arahan dan pembinaan sosial. Mengapa hanya tempat ‘Al Salam’ yang ditekan, sedangkan tempat hiburan lain seperti café besar di Pantura justru tidak tersentuh?” ujar Aris.
“Kalau Pemkab Pemalang tidak memiliki kapasitas untuk memberikan pembinaan terhadap wanita tuna susila, sebaiknya berkoordinasi dengan DPRD agar bisa disiapkan anggaran pembinaan. Tidak semua orang ingin menjadi pelacur atau pemandu lagu. Jangan hanya menghina atau mencemooh mereka — mereka juga bagian dari masyarakat yang memiliki hak asasi dan harus dihormati,” tambahnya.
Lebih lanjut, Aris menyoroti pentingnya keseimbangan antara penegakan hukum dan pendekatan sosial dalam menangani masalah lokalisasi. Ia menyayangkan apabila tindakan razia dilakukan dengan cara yang dinilai berlebihan.
“Dalam konstitusi sudah jelas bahwa rakyat miskin dan tidak mampu berhak atas perlindungan dan kesejahteraan dari negara. Jadi jangan sampai penanganan mereka dilakukan seperti terhadap teroris atau maling, dengan cara menggedor dan memukul-mukul pintu. Itu sangat disayangkan,” tegasnya.
Tim media mengapresiasi sikap terbuka Wakil Ketua DPRD Pemalang yang mau mendengarkan aspirasi masyarakat kecil dan memberikan solusi konstruktif.
Regulasi & Dasar Hukum Penanggulangan Prostitusi di Pemalang
1. Peraturan Daerah Kabupaten Pemalang
-
Perda No. 12 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Pelacuran menjadi dasar hukum lokal dalam penegakan dan penertiban praktik prostitusi.
-
Berdasarkan perda ini, beberapa razia dilakukan, seperti pada 7 Oktober 2025, saat delapan wanita diamankan untuk asesmen oleh Dinas Sosial dan kemungkinan dirujuk ke Panti Pelayanan Sosial di Surakarta.
-
Penegakan sebelumnya pada Mei 2024 juga mengamankan sembilan orang berdasarkan Pasal 18 jo Pasal 13 Perda No. 12/2019.
2. Regulasi Nasional dan Hukum Pidana
-
KUHP Pasal 296 dan 506: mengatur sanksi bagi pihak yang memfasilitasi prostitusi atau menarik keuntungan darinya.
-
UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO: mengkategorikan prostitusi sebagai eksploitasi seksual apabila melibatkan paksaan atau penipuan.
-
UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan UU ITE: menjerat promosi atau transaksi prostitusi daring sebagai pelanggaran kesusilaan.
-
KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023): memperbarui sebagian ketentuan pidana, namun belum mengatur prostitusi sebagai kejahatan tersendiri.
Dengan kompleksitas regulasi tersebut, berbagai pihak — termasuk DPRD, Pemkab, aparat penegak hukum, dan tokoh masyarakat — diharapkan dapat mencari solusi bersama yang adil, humanis, dan berlandaskan hukum dalam menanggulangi praktik prostitusi di Kabupaten Pemalang.
Penulis: Tim






