Oleh: dr. Agus Ujianto, MSI Med, SpB
Ketua Alumni PP IKA Unissula Semarang
Dalam beberapa tahun terakhir, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan telah menjadi tumpuan utama sistem perlindungan kesehatan masyarakat di Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, berbagai tantangan terus mengemuka—mulai dari soal keberlanjutan dana, transparansi tata kelola, hingga kualitas layanan yang dirasakan langsung oleh peserta dan tenaga kesehatan (nakes).
Kini, muncul sebuah gagasan yang mulai menguat: transformasi BPJS ke model syariah. Gagasan ini bukan semata soal label agama, melainkan tawaran serius untuk membenahi sistem jaminan sosial secara menyeluruh, berlandaskan prinsip keadilan, tolong-menolong, dan transparansi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari Premi ke Tabarru’: Mengubah Dasar Relasi
Salah satu kritik utama terhadap skema BPJS saat ini adalah kerancuan akad yang cenderung menyerupai sistem asuransi komersial—mengandung unsur gharar (ketidakjelasan) dan maysir (spekulasi). Dalam model syariah, paradigma ini diubah total. Iuran peserta bukan lagi dianggap sebagai premi, melainkan dana hibah (tabarru’) yang diniatkan untuk membantu sesama.
Artinya, peserta menjadi pemilik dana kolektif tersebut, bukan pelanggan dari sebuah jasa. Dana itu kemudian dikelola secara amanah oleh BPJS, yang bertindak sebagai pengelola profesional. Implikasinya besar: ada kepastian hukum dan moral, serta kewajiban transparansi yang lebih tinggi karena dana dianggap milik umat, bukan korporasi.
Rumah Sakit Harus Adil dan Efisien
Penerapan prinsip ‘adl (keadilan) dan ihsan (kebaikan tertinggi) dalam operasional rumah sakit mitra BPJS adalah aspek penting lainnya. Model syariah menuntut pelayanan yang non-diskriminatif dan berorientasi pada kebutuhan medis, bukan kemampuan iuran.
Selain itu, efisiensi pengelolaan biaya menjadi keharusan. Rumah sakit perlu menghindari pemborosan (tabdzir) dan praktik moral hazard, sembari memanfaatkan teknologi seperti rekam medis digital dan sistem antrean cerdas untuk memastikan pelayanan berjalan cepat dan akurat.
Nakes Lebih Sejahtera, Pasien Lebih Terlayani
Kesejahteraan tenaga kesehatan juga menjadi fokus utama. Model syariah mensyaratkan sistem imbal jasa (ujrah) yang adil, transparan, dan proporsional sesuai kaidah al-ghunmu bil ghurmi (risiko sebanding dengan imbalan). Ini mendorong rumah sakit untuk menyusun sistem remunerasi yang menghargai profesionalisme, bukan sekadar beban administratif.
Ditambah lagi, pemanfaatan teknologi informasi akan mempercepat proses klaim dan pelaporan, sehingga nakes bisa lebih fokus menjalankan tugas klinisnya, bukan disibukkan oleh dokumen administratif yang menyita energi.
Langkah Regulator dan Keseriusan Implementasi
Transformasi ini tentu bukan pekerjaan ringan. Diperlukan regulasi baru dari pemerintah, seperti Undang-Undang Jaminan Sosial Kesehatan berbasis Syariah atau penyesuaian kebijakan operasional BPJS sesuai fatwa DSN-MUI. BPJS juga perlu membentuk Unit Syariah profesional yang khusus mengelola dana tabarru’ dan memastikan investasinya bebas riba.
Namun jika ini berhasil dijalankan, bukan tak mungkin Indonesia akan menjadi pionir dalam pengelolaan jaminan kesehatan berbasis syariah di dunia, yang bukan hanya menjawab tantangan teknis, tetapi juga menghadirkan nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial yang luhur.
Lebih dari Sekadar Alternatif
Transformasi BPJS ke model syariah bukan sekadar alternatif untuk umat Islam, tapi solusi struktural dan universal bagi sistem jaminan kesehatan kita. Dengan akuntabilitas yang lebih kuat, keadilan dalam layanan, dan kesejahteraan nakes yang lebih baik, inilah peluang nyata untuk mewujudkan sistem kesehatan yang lebih beretika, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Karena kesehatan bukan hanya tentang pengobatan, tetapi tentang keadilan dan kemanusiaan.






