Sorong — Berbagai permasalahan pertanahan di Papua Barat Daya mengemuka dalam pertemuan antara Komite I DPD RI dengan pemerintah daerah dan tokoh masyarakat setempat, Senin (24/11). Konflik agraria yang telah berlangsung puluhan tahun dinilai menghambat pembangunan, termasuk pembangunan sekolah dan fasilitas publik.
Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Papua Barat Daya mengungkapkan bahwa keterbatasan lahan siap pakai menjadi kendala utama, terutama akibat pesatnya pembangunan dan status kawasan hutan. “Banyak lahan yang diklaim masyarakat adat, namun secara tata ruang masuk kawasan khusus. Ini jadi hambatan legalisasi,” ujarnya.
Wakil Bupati Raja Ampat menambahkan bahwa hanya 20% wilayahnya berupa daratan, sebagian besar masuk kategori kawasan hutan. Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Sorong melaporkan pembangunan sekolah yang terhenti akibat sengketa tanah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Perwakilan Kota Sorong menyinggung konflik antara Pelindo dan pemilik tanah adat dalam pengembangan kawasan strategis nasional. Mereka mengusulkan adanya peraturan khusus tentang hak kepemilikan tanah adat.
Menanggapi seluruh aspirasi, anggota Komite I, Bisri As Shiddiq Latuconsina, menyatakan perlunya format pendaftaran tanah yang mengakomodasi entitas masyarakat adat. “PTSL harus memperhatikan keberadaan tanah ulayat,” tegasnya.






