Tangerang — Menjelang pemberlakuan wajib halal untuk produk makanan dan minuman Usaha Mikro Kecil (UMK) pada 17 Oktober 2026, sejumlah kendala di lapangan mulai mencuat. Program Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI) yang dicanangkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dinilai belum berjalan optimal karena rendahnya literasi digital para pelaku UMK serta keterbatasan pendamping di lapangan.
BPJPH menargetkan satu juta sertifikat halal per tahun melalui skema self-declare yang prosesnya terintegrasi di aplikasi SIHALAL. Kepala BPJPH, Haikal Hasan, menegaskan bahwa sertifikasi halal merupakan standar kualitas yang dapat meningkatkan daya saing produk.
Namun, Pendamping Proses Produk Halal (P3H) Kota Tangerang, Winu Prakarsa, menilai pelaku UMK masih mengalami kesulitan mengikuti prosedur berbasis digital. Banyak pelaku usaha mikro yang belum memiliki email, belum terbiasa menggunakan ponsel pintar, hingga tidak memahami cara mengakses SIHALAL maupun mengurus akun OSS sebagai syarat registrasi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sebagian pelaku usaha sudah lanjut usia dan tidak terbiasa dengan aplikasi digital. Pendamping akhirnya harus mengurus seluruh proses administrasi dari awal hingga akhir,” ujarnya.
Selain kendala digital, pemenuhan persyaratan teknis Proses Produk Halal (PPH) juga menjadi tantangan tersendiri. Keterbatasan modal membuat UMK kesulitan menjaga konsistensi bahan baku halal dan sarana produksi yang terpisah dari bahan non-halal. Pendamping harus memberikan bimbingan tambahan agar UMK memenuhi standar minimal sebelum sertifikasi diterbitkan.
Di sisi lain, gangguan teknis pada sistem SIHALAL maupun ketidaksinkronan data dengan OSS kerap memperlambat proses pengajuan. Kondisi ini menyebabkan penumpukan berkas dan memperpanjang waktu pendampingan.
Sejumlah pendamping menilai keberhasilan program wajib halal tidak hanya bergantung pada penyederhanaan aplikasi, tetapi juga pada peningkatan kapasitas pelaku UMK melalui sosialisasi langsung serta dukungan operasional bagi P3H di lapangan.
Jika berbagai hambatan ini tidak segera ditangani, kewajiban sertifikasi halal pada 2026 dikhawatirkan menjadi beban berat bagi pelaku usaha mikro yang belum siap beradaptasi dengan tuntutan digitalisasi.(win)






