poskota.online – Kwek kwek kwek, wak wak wak! Suara riuh ribuan bebek menggema serempak dari tengah hamparan sawah di Blok Sindu, Kecamatan Kalibening, Rabu (18/6). Entah itu suara tertawa atau omelan dari ribuan bebek tersebut, namun semakin lama, suara itu akan menular dan menjadikan siapapun yang mendengarnya juga akan tertawa. Siapa pun yang mendekat ke tenda yang dijadikan kandang darurat, hampir pasti akan tersenyum, bahkan tergelak.
Di balik paduan suara jenaka itu, ada Al Qodri, pria 42 tahun asal Kecamatan Banjarnegara. Sejak tahun 2002, ia menekuni profesi yang tak banyak diminati yaitu menjadi penggembala bebek keliling. Profesi yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai “tukang angon bebek”.
“Saya mulai dari Banjarnegara, tapi sekarang keliling. Kadang sampai Cilacap, Banyumas, Purbalingga, bahkan pernah sampai Pekalongan,” katanya sembari menatap ribuan bebek yang sibuk berkecakak di kandangnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagi sebagian orang, menggembala bebek mungkin terdengar sederhana. Tapi bagi Qodri, pekerjaan ini menuntut kejujuran, ketekunan, dan kesabaran tinggi. “Kami bisa digaji tetap, bisa juga sistem bagi hasil. Tergantung kesepakatan awal dengan pemilik bebek,” ujar dia.
Dalam sistem ini, telur-telur yang dikumpulkan setiap hari akan dijual ke mitra pemilik bebek. Uang hasil penjualan bisa langsung dikirim ke pemilik atau melalui Qodri sebagai perantara. “Kalau lewat kami, ya kami ambil sedikit dulu untuk biaya operasional. Tapi semuanya tetap harus jujur. Kalau curang, cepat atau lambat pasti ketahuan,” katanya.
Tantangan lain yang tak kalah pelik adalah saat ribuan bebek dari berbagai kelompok bertemu di satu lokasi. Tanpa tanda khusus, bebek-bebek itu bisa dengan mudah ‘menyusup’ ke rombongan lain. “Biasanya sore atau pagi, kami saling menghitung jumlah. Kalau ada yang lebih, langsung ditawarkan ke tukang angon lain. Mungkin bebeknya nyasar,” ujar Qodri sambil tersenyum.
Pengalaman membawa Qodri hingga ke sawah-sawah perbatasan Cilacap dan Jawa Barat. Namun seiring waktu, wilayah itu mulai ramai dengan peternak bebek lokal. Maka, ia pun memilih berpindah ke daerah yang belum banyak pesaing.
“Kami mengikuti musim tanam dan panen padi. Kalau sawah sedang kosong, kami istirahat. Bahkan bisa juga balik ke rumah kalau bebek akan dijual,” jelasnya.
Meski bekerja di alam terbuka dan jauh dari hiruk pikuk kota, profesi ini tak selalu menjanjikan dari segi penghasilan. Qodri mengaku, rata-rata ia menerima upah Rp2 juta per bulan. “Itu pun belum termasuk makan. Tapi biaya angkut ke lokasi biasanya ditanggung pemilik bebek,” katanya.
Mengangon bebek juga berarti berjibaku dengan penyakit hewan. Bebek bisa saja sakit, dimangsa hewan lain, atau terkena lintah yang menempel di tenggorokan. “Kalau sudah ngantukan, kami kasih pakan campur obat cacing. Tapi kalau lintahnya masih di mulut, harus cepat diambil. Kalau sampai tertelan, bisa berbahaya,” tutur Qodri sambil memperlihatkan lintah kecil yang berhasil diambil dari mulut bebek.
Di tengah kesederhanaan dan kerasnya hidup sebagai penggembala bebek, Qodri tetap mencintai pekerjaannya. Ia menemukan kedamaian di tengah sawah, di antara suara-suara bebek yang entah mengomel atau justru menertawakan dunia.(HC)