poskota.online – COP27 UNFCCC menghasilkan sebuah terobosan baru, karena negara-negara pihak akhirnya sepakat adanya pendanaan untuk Loss and Damage (LnD). Kesepakatan untuk menyediakan dana “kerugian dan kerusakan” bagi negara-negara rentan yang terkena bencana iklim tersebut juga merupakan langkah maju. Pembahasan tentang penyediaan pendanaan untuk mengatasi dampak pada masyarakat yang kehidupan dan mata pencahariannya telah dirusak oleh dampak terburuk dari perubahan iklim ini telah berlangsung lama.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian LHK Laksmi Dhewanthi menyampaikan, selain aspek pendanaan Loss and Damage, COP 27 kali ini, mengadopsi beberapa keputusan, antara lain mengenai the Mitigation Work Programme, Global Goal on Adaptation, dan Cover Decision atau secara resmi Dec.1/CMA.4 yang mencakup seluruh keputusan utama dari COP27.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagi Indonesia, disepakatinya pendanaan LnD sebagai langkah maju dalam upaya mengimplementasikan Persetujuan Paris (Paris Agreement), terutama sejak Indonesia meratifikasinya melalui UU No. 16 tahun 2016. Karena melalui pendanaan ini, diharapkan dapat membantu negara-negara, terutama negara berkembang yang rentan terhadap dampak dan bencana hidrometeorologi, walaupun negara-negara tersebut telah melakukan upaya adaptasi secara maksimal.
“Seperti halnya Indonesia, meskipun sudah berkomitmen dan melaksanakan upaya adaptasi secara maksimal, namun kerugian dan kerusakan masih bisa terjadi, maka pendanaan LnD diharapkan akan mampu menurunkan potensi kerugian dan kerusakan di dalam negeri akibat dampak negatif perubahan iklim,” katanya saat Media Briefing di Jakarta, Senin (28/11/2022).
Melalui pendanaan ini, diharapkan operasionalisasi dari Santiago Network for Loss and Damage (SNLD) juga dapat segera berfungsi dengan baik. SNLD merupakan platform yang diharapkan dapat berfungsi sebagai katalisator bantuan teknis bagi negara-negara berkembang dalam mencegah, meminimalkan dan mengatasi dampak negatif perubahan iklim.
Tentu saja memerlukan waktu lagi untuk implementasinya, mengingat masih ada pembahasan lebih lanjut dalam hal pengaturan kelembagaan SNLD (institutional arrangement SNLD), pengaturan pendanaan (funding arrangement) dan sumber-sumber pendanaannya.
Turut disepakati juga pembentukan ‘komite transisi’ untuk menyusun rekomendasi tentang cara mengoperasionalkan pengaturan pendanaan baru dan dana di COP28 tahun depan. Pertemuan pertama komite transisi diharapkan berlangsung sebelum akhir Maret 2023.
COP27 juga mencapai kemajuan yang signifikan dalam adaptasi, dengan para pihak menyepakati cara untuk bergerak maju menuju Global Goal on Adaptation, yang akan diputuskan di COP28 yang juga akan menginformasikan Global Stocktake pertama ketahanan iklim negara-negara di dunia.
Kemudian, Cover Decision atau Decision 1/CMA.4 yang dikenal sebagai Sharm el-Sheikh Implementation Plan, menyoroti bahwa transformasi global menuju ekonomi rendah karbon diperkirakan membutuhkan investasi minimal USD 4-6 triliun per tahun. Penyaluran dana semacam itu akan membutuhkan transformasi sistem keuangan serta struktur dan prosesnya yang cepat dan komprehensif, melibatkan para pihak, bank sentral, bank komersial, investor institusional, dan pelaku keuangan lainnya.
Terlepas dari berbagai kesepakatan di atas, berdasarkan synthesis report of NDC diperkirakan penurunan emisi GRK pada 2030 belum memenuhi target mempertahankan kenaikan suhu global hingga 2 atau 1,5°C. Oleh karena itu Para Pihak didesak untuk menyampaikan updated NDC sesegera mungkin.
Lebih lanjut, Laksmi menyatakan pada umumnya proses persidangan berjalan konstruktif dan inklusif. Beberapa agenda dan pending issues berhasil diselesaikan serta menghasilkan decision text yang mengakomodasi kepentingan Negara Pihak. Namun juga terdapat, beberapa agenda yang belum selesai dibahas yang selanjutnya akan dinegosiasikan pada Climate Conferences selanjutnya.
“Kesuksesan implementasi NDC dalam mengurangi emisi GRK membutuhkan komitmen, peran, serta kontribusi dari berbagai pihak, baik pada level nasional maupun sub-nasional,” ujar Laksmi.
“Peningkatan target NDC menunjukkan komitmen Indonesia untuk secara bertahap menyesuaikan target NDC dengan skenario 1.5C yang tercantum di dalam kebijakan LTS-LCCR 2050 melalui peningkatan target pengurangan emisi GRK, peningkatan program, strategi dan tindakan dalam mitigasi, adaptasi, kerangka transparansi dan pengaturan cara pelaksanaan termasuk melalui mekanisme Nilai Ekonomi Karbon,” tambah Laksmi.
Pada kesempatan tersebut, Direktur Jenderal Pengelolaan Lestari (PHL) KLHK Agus Justianto, selalu penanggung jawab Paviliun Indonesia pada COP27 menjelaskan sebagai upaya soft diplomacy, Paviliun Indonesia bertujuan untuk menyuarakan aksi, strategi, dan inovasi Indonesia kepada dunia internasional, sebagai wujud nyata bersama memimpin aksi iklim dalam rangka mencegah kenaikan suhu global dibawah 2°C. Kemudian, mempromosikan program pengendalian perubahan iklim oleh Pemerintah Indonesia bersama para pihak secara konstruktif dan integratif, termasuk mengelaborasinya dengan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat global. Selain itu, membuka kesempatan bagi para pihak untuk mengeksplorasi ide, peluang, dan jejaring kerja dalam konteks penguatan upaya pengendalian perubahan iklim di Indonesia.
Tema Paviliun Indonesia “Stronger Climate Actions Together”, ditranslasikan ke dalam empat topik utama Talk Show Sessions. Pertama, Promoting the Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, 4 Sesi Talk Show. Kedua, Optimizing Energy Transition to Achieve NZE 2060, 19 Sesi Talk Show. Ketiga, Climate Financing for Sustainable Development,16 Sesi Talk Show. Keempat, Climate Change and Ecosystems: Threats, Opportunities and Solutions, 17 Sesi Talk Show.
“Keempat topik utama tersebut, dijabarkan secara mendalam menjadi 66 Talk Show Sessions dengan total Pembicara sejumlah 323 Pembicara yang melibatkan peran multi-pihak,” ujarnya.
Agus menyampaikan, berbalut kuliner dan tradisi khas Indonesia, Paviliun Indonesia menampilkan praktik-praktik yang dapat dicontoh oleh dunia, sekaligus mendorong semua pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam pengendalian perubahan iklim.(red)