Denpasar, Bali (15/9/2025) – Banjir yang melanda Bali hingga menyebabkan lima bangunan ambruk di Jalan Hasanuddin, Denpasar, pada Rabu (10/9), menjadi pengingat serius akan kerentanan destinasi wisata Indonesia. Bencana semacam ini seringkali dipicu oleh pembangunan tak terkendali di kawasan wisata. Dalam konteks ini, pendekatan Bhutan dalam pariwisata berkelanjutan layak dijadikan inspirasi.
Bhutan dan Strategi “High Value, Low Impact”
Bhutan, negara kecil di Himalaya, dikenal dengan komitmennya menjaga lingkungan dan budaya tradisional. Pemerintah Bhutan menerapkan kebijakan ketat, termasuk visa wisata yang mematok biaya sekitar USD 200–250 per hari (data 2023). Biaya tersebut mencakup akomodasi, transportasi, pemandu wisata resmi, dan Sustainable Development Fee (SDF) untuk pelestarian lingkungan dan budaya.
Selain itu, Bhutan membatasi jumlah kunjungan wisatawan dengan kuota tahunan. Misalnya, sebelum pandemi 2020, kunjungan dibatasi sekitar 200.000 wisatawan, lalu dibuka secara bertahap pasca-pandemi. Pembangunan infrastruktur wisata juga diawasi ketat agar tetap selaras dengan arsitektur tradisional, menjadikan Bhutan unik meski biaya kunjungan tergolong mahal.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Keindahan alam Bhutan berpadu dengan kekayaan budaya seperti dzong (biara-kastil), festival Tsechu, dan pakaian tradisional gho dan kira. Bagi Bhutan, modernisasi berlebihan tidak diperlukan untuk menarik wisatawan.
Pelajaran untuk Indonesia
Indonesia, dengan 17.504 pulau, 1.331 kelompok suku, dan 694 bahasa daerah, memiliki kekayaan budaya luar biasa. Namun, potensi besar ini kerap terancam oleh eksploitasi berlebihan. Beberapa langkah yang bisa dipelajari dari Bhutan antara lain:
-
Pembatasan Kunjungan Wisatawan: Menerapkan kuota untuk destinasi rentan agar lingkungan dan budaya tetap terjaga.
-
Biaya Pelestarian Lingkungan: Menetapkan biaya masuk khusus bagi wisatawan asing yang dialokasikan untuk konservasi.
-
Pemandu Wisata Bersertifikasi: Mengharuskan pemandu memahami budaya lokal, memberikan pengalaman yang edukatif dan bermakna.
-
Penguatan Desa Wisata dan Festival Budaya: Memberdayakan komunitas lokal agar pariwisata berdampak langsung pada ekonomi masyarakat.
Pariwisata Berkelanjutan sebagai Pilar Ekonomi
Pendekatan Bhutan menunjukkan dua keuntungan: mengurangi biaya penanganan bencana akibat pembangunan tak terkendali, dan menjaga daya tarik wisata berkat alam serta budaya yang lestari. Jika Indonesia mengadopsi prinsip serupa, destinasi wisata akan tetap memikat sekaligus berkelanjutan.
“Kekayaan budaya dan lingkungan bukan hanya identitas bangsa, tetapi juga aset masa depan. Pengelolaan bijak dan berkelanjutan adalah kunci agar pariwisata Indonesia tidak sekadar mengejar kuantitas wisatawan, tetapi juga kualitas pengalaman,” tulis Novita Sari Yahya, penulis dan peneliti kebudayaan yang aktif mengadvokasi pariwisata ramah lingkungan.
Tentang Penulis
Novita Sari Yahya adalah penulis buku-buku bertema kebudayaan dan kebangsaan, di antaranya Romansa Cinta Padusi, Makna di Setiap Rasa, dan Self Love: Rumah Perlindungan Diri. Ia dapat dihubungi melalui Instagram @novita.kebangsaan atau WhatsApp 089520018812.






