Tangerang, Poskota.online – Pemandangan memilukan terlihat di bantaran Sungai Cisadane, tepatnya di wilayah Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Banten, pada senin pagi 07 Juli 2025. Tumpukan sampah plastik, kayu, dan limbah rumah tangga tampak mengapung memenuhi badan sungai. Aliran air tersumbat dan lingkungan sekitar tercemar parah.
Meski Sungai Cisadane mengalir dari wilayah Kabupaten dan Kota Bogor, Kota Tangerang Selatan, hingga Kota Tangerang sebelum akhirnya bermuara ke laut melalui Kabupaten Tangerang, persoalan sampah belum ditangani secara kolektif. Pemerintah Kabupaten Tangerang tampak harus bekerja sendiri menghadapi kiriman limbah dari daerah hulu.
Padahal, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2018 telah menargetkan pengurangan sampah plastik ke laut hingga 70 persen pada tahun 2025. Namun, implementasinya di lapangan masih jauh dari harapan, terutama dalam konteks koordinasi antarwilayah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Setiap hari kami membersihkan sekitar 10 hingga 15 ton sampah yang hanyut dari daerah hulu. Tapi ini seperti lingkaran setan karena tidak ada koordinasi dari daerah lain. Kami di hilir kebanjiran sampah dan seolah dibiarkan sendiri,” kata Arief, pengelola Bank Sampah di TPS3R Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga.
Arief menjelaskan bahwa meskipun sudah ada alat penyaring sampah dan bantuan dari program internasional seperti The Ocean Cleanup, namun jumlah limbah yang datang terlalu besar untuk ditangani oleh satu wilayah saja. Sementara itu, sarana dan prasarana yang tersedia sangat terbatas.
“Kami hanya mengandalkan tenaga lokal dan sumber daya yang ada. Untuk penanganan masalah besar seperti ini, jelas kami butuh dukungan lintas daerah dan keterlibatan langsung dari pemerintah pusat,” tambahnya.
Ia juga menyayangkan belum adanya bentuk pendampingan konkret dari pemerintah pusat. Menurutnya, sejauh ini yang ada hanya sebatas perizinan, tanpa ada tindak lanjut berupa forum atau aksi terpadu lintas wilayah.
Kondisi ini mencerminkan lemahnya koordinasi antarwilayah dan peran pemerintah pusat dalam menangani persoalan sampah sungai yang melintasi batas administratif. Jika tidak ditangani secara menyeluruh, ancamannya bukan hanya pada target nasional pengurangan sampah laut, tetapi juga pada kelestarian sumber air baku.
Dampak lebih jauh juga dirasakan oleh masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem sungai dan laut. Pencemaran yang terus berlangsung dapat mengancam kesehatan masyarakat serta menurunkan kualitas hidup secara umum.
Aktivis lingkungan pun turut menyoroti ketimpangan penanganan ini. “Semestinya KLHK, Kementerian PUPR, dan pemerintah provinsi menjadi fasilitator integrasi pengelolaan sungai. Sungai tidak mengenal batas administratif. Jika tidak ada kolaborasi, maka hilir akan terus menjadi korban,” tegas Ahmad Fahrul Rozi atau yang akrab di sapa Rozi dari komunitas lingkungan Lembaga Satu Bumi Satu Negeri.

Menurutnya, tanpa adanya tanggung jawab bersama, kerja keras daerah hilir seperti Kabupaten Tangerang hanya akan menjadi penanggulangan sementara, bukan solusi jangka panjang. Ia juga menyerukan dibentuknya tim koordinasi lintas daerah secepatnya.
Kabupaten Tangerang berharap pemerintah pusat segera hadir secara nyata, dengan membentuk gugus tugas lintas wilayah, memberikan dukungan sarana dan prasarana pengangkutan serta pengolahan sampah sungai, dan memastikan bahwa beban lingkungan tidak hanya ditanggung oleh daerah hilir.






