Pandeglang, poskota.online — Di tengah narasi pembangunan berkelanjutan, masyarakat Kabupaten Pandeglang justru dihadapkan pada kenyataan pahit. Tanpa suara rakyat sebagai pertimbangan, tanah mereka kini menjadi tujuan akhir sampah dari luar daerah, tepatnya dari Tangerang Selatan yang dikirim dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bangkonol, Kecamatan Koroncong, Pandeglang.
Kebijakan ini disebut sebagai bagian dari “kerja sama antarwilayah”. Namun di balik istilah manis tersebut, tersembunyi keputusan yang membebani lingkungan dan masyarakat Pandeglang secara sepihak. Proyek ini tidak hanya merusak ekosistem lokal, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran soal dampak jangka panjang terhadap kesehatan warga.
“Tanah ini rupanya tak butuh musuh luar untuk hancur. Cukup kursi empuk di ruang rapat, dan pejabat yang rela menjual masa depan warganya,” ujar Riva Firdaus, aktivis lingkungan asal Pandeglang, Minggu (27/7).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Impor Sampah: Solusi Hijau atau Bencana Berbaju Legalitas?
Kiriman sampah dari Tangerang ke Pandeglang adalah bentuk nyata dari ironi pembangunan. Dalam dokumen resmi, ini disebut kolaborasi pengelolaan sampah. Namun warga setempat menyebutnya sebagai “pemindahan bencana lingkungan.”
Di TPA Bangkonol, gunungan sampah terus bertambah sejak kebijakan ini berjalan. Aroma busuk yang menyengat hingga radius beberapa kilometer, lalat yang menyerbu rumah warga, serta pencemaran air tanah mulai dirasakan secara nyata. Ironisnya, warga sekitar mengaku tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
“Jangan bicara soal tidak ada penolakan jika kami bahkan tak tahu kapan keputusan itu dibuat. Kami hanya tahu ketika truk-truk sampah datang,” keluh Riva.
Pembangunan atau Pembusukan?
Jika pembangunan adalah upaya menciptakan hidup yang lebih baik, maka apa yang terjadi di Pandeglang justru kebalikannya. Kesehatan terancam, tanah pertanian rusak, dan masyarakat tidak pernah benar-benar diberi pilihan.
Kebijakan ini dianggap cacat prosedur dan moral. Rakyat yang terdampak tidak pernah diajak bicara, apalagi diberi ruang untuk menolak. Semua keputusan dibuat secara top-down, lalu dibungkus dengan dalih legalitas administratif.
“Ini bukan pembangunan. Ini pembusukan yang dilegalkan. Rakyat Pandeglang hanya dijadikan halaman belakang dari proyek yang menguntungkan pihak lain,” lanjut Riva.
Kesepakatan Elit, Derita Rakyat
Proyek pengiriman sampah dari Tangerang ke TPA Bangkonol bukanlah kebijakan publik yang partisipatif, melainkan kesepakatan elite. Tidak ada transparansi, tidak ada ruang musyawarah, dan yang ada hanyalah rakyat yang dipaksa menerima nasibnya.
Ketika rakyat dipaksa diam dan dikelabui oleh bahasa-bahasa teknokratis, maka kehancuran bukan lagi kemungkinan. Ia menjadi kepastian, lengkap dengan tanda tangan, materai, dan ironi.
Rakyat Pandeglang Tidak Akan Diam
Di banyak titik di Pandeglang, protes mulai bermunculan. Spanduk penolakan, petisi warga, hingga gelombang diskusi publik makin sering digelar. Ini bukan sekadar reaksi spontan, melainkan bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap mengancam kelangsungan hidup.
“Yang pertama kali dibakar oleh sampah bukanlah hutan atau udara tapi nurani para penguasa,” tutup Riva Firdaus.

					




