Oleh : Dr Agus ujianto MSI Med SpB
Hubungan antara pasien dan dokter tidak hanya sebatas interaksi medis, melainkan juga hubungan hukum, etika, dan sosial. Pasien datang dengan harapan memperoleh kesembuhan, sementara dokter hadir dengan pengetahuan dan keterampilan profesi. Namun, dalam praktik, hubungan ini sering menghadirkan potensi konflik, terutama bila pasien merasa dirugikan atau dokter merasa tertekan oleh tuntutan hukum yang tidak berdasar.
Oleh karena itu, perlindungan hukum bagi pasien dan dokter harus diletakkan dalam kerangka keseimbangan hak dan kewajiban. Perlindungan ini meliputi aspek keselamatan, kehormatan, serta kepastian hukum bagi kedua belah pihak, dengan rujukan pada UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), serta ketentuan dalam KUHP.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
1. Perlindungan Hukum bagi Pasien
A. Aspek Keselamatan Pasien
-
Hak atas Pelayanan Sesuai Standar
Pasien berhak memperoleh pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi, standar prosedur operasional (SPO), dan etika kedokteran. Hal ini menjamin bahwa setiap tindakan medis dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan keilmuan. -
Hak atas Informed Consent (Persetujuan Tindakan Medis)
Pasien wajib diberikan informasi lengkap mengenai diagnosis, tujuan tindakan, manfaat, risiko, hingga alternatif terapi, sebelum memutuskan untuk menyetujui atau menolak tindakan medis. Prinsip ini menjadi benteng utama keselamatan pasien sekaligus penghormatan terhadap otonomi mereka. -
Hak Menuntut Ganti Rugi
Apabila pasien mengalami kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dokter, pasien berhak menuntut ganti rugi secara perdata maupun pidana. Hal ini sekaligus menjadi mekanisme kontrol agar pelayanan medis tidak dilakukan secara serampangan.
B. Aspek Kehormatan Pasien
-
Hak atas Kerahasiaan Medis
Dokter wajib menjaga kerahasiaan kondisi pasien, termasuk rekam medis, bahkan setelah pasien meninggal dunia. Membocorkan rahasia pasien dapat dikenai sanksi etik maupun pidana (Pasal 322 KUHP). -
Hak Memilih Dokter dan Fasilitas
Pasien bebas memilih tenaga kesehatan dan fasilitas yang dianggap sesuai kebutuhannya. -
Hak Menolak Tindakan Medis
Pasien dapat menolak tindakan medis setelah memperoleh informasi lengkap. Hak ini adalah bentuk penghormatan terhadap martabat pasien sebagai individu yang berdaulat atas tubuhnya.
2. Perlindungan Hukum bagi Dokter
A. Aspek Keselamatan dan Kepastian Hukum
-
Perlindungan saat Bertugas Sesuai Standar
Dokter tidak dapat dituntut secara hukum apabila tindakan medis dilakukan sesuai standar profesi dan SPO, meskipun hasilnya tidak sesuai harapan pasien. -
Pengecualian Keadaan Darurat (Emergency)
Dalam kondisi gawat darurat, dokter dilindungi hukum untuk segera mengambil tindakan penyelamatan jiwa tanpa menunggu persetujuan (implied consent/zaakwaarneming). Hal ini mencegah keterlambatan penanganan yang dapat membahayakan pasien. -
Hak Memperoleh Informasi Jujur dari Pasien
Dokter berhak menerima informasi lengkap dan benar tentang kondisi pasien. Informasi yang tidak jujur dari pasien atau keluarganya dapat membahayakan diagnosis dan perawatan, sehingga perlindungan hukum dokter mempertimbangkan hal ini.
B. Aspek Kehormatan Profesi
-
Hak atas Imbalan dan Perlakuan Layak
Dokter berhak memperoleh imbalan sesuai jasa profesionalnya, serta perlakuan yang menghargai martabat profesinya. -
Mekanisme Pengaduan yang Berlapis
Apabila timbul sengketa, pengaduan terlebih dahulu ditangani melalui mekanisme etik (MKEK) atau disiplin (MKDKI) sebelum masuk ke ranah pidana/perdata. Mekanisme ini melindungi nama baik profesi dari tuntutan prematur atau tidak berdasar.
3. Prinsip Keseimbangan dalam Transaksi Terapeutik
Hubungan dokter dan pasien dikenal dengan istilah transaksi terapeutik, yaitu kesepakatan yang lahir dari kepercayaan (fiduciary relationship).
Keseimbangan tercapai jika:
-
Dokter menjalankan kewajiban secara profesional, hati-hati, dan sesuai standar.
-
Pasien bersikap jujur mengenai kondisinya serta menghormati keputusan medis yang telah disepakati melalui informed consent.
Dengan demikian, keselamatan pasien terjamin melalui standar pelayanan, sementara kehormatan dokter terlindungi oleh kepastian hukum.
4. Kode Etik vs KUHP: Pertemuan Etika dan Hukum Pidana
A. Pelanggaran Etik (Pasal 14 KODEKI)
Pasal 14 KODEKI mengatur kewajiban dokter terhadap sejawat, termasuk larangan mengambil alih pasien tanpa izin. Pelanggaran etik diselesaikan di ranah organisasi profesi, bukan pidana.
Namun, terdapat konteks etik yang bersinggungan dengan hukum pidana, misalnya dokter menolak memberikan pertolongan darurat. Hal ini dapat dianggap sebagai pelanggaran etik sekaligus disiplin.
B. Pelanggaran Pidana (Pasal 304 KUHP)
Pasal 304 KUHP mengatur penelantaran orang dalam keadaan sengsara. Dalam konteks medis, jika dokter menolak memberikan pertolongan darurat padahal ia berkewajiban, maka hal itu bisa dikategorikan penelantaran pasien dan berimplikasi pidana.
C. Sanksi Berlapis
-
Etik → oleh MKEK: peringatan, pembinaan, hingga pencabutan keanggotaan profesi.
-
Disiplin → oleh MKDKI: teguran, pelatihan ulang, pencabutan sementara/selamanya SIP dan STR.
-
Pidana → oleh pengadilan: hukuman penjara atau denda sesuai KUHP.
Kesimpulan
Konsep perlindungan hukum bagi pasien dan dokter harus dipahami sebagai mekanisme keseimbangan, bukan sebagai alat untuk saling menekan.
-
Pasien dilindungi melalui hak atas pelayanan bermutu, keselamatan medis, privasi, dan kehormatan diri.
-
Dokter dilindungi melalui kepastian hukum dan mekanisme penyelesaian sengketa yang adil, selama bertindak sesuai standar profesi.
Dengan pengaturan yang jelas, baik pasien maupun dokter dapat merasa aman. Pasien memperoleh pelayanan yang manusiawi, sementara dokter dapat bekerja profesional tanpa rasa takut. Pada akhirnya, tujuan utama dari perlindungan hukum ini adalah menjaga keselamatan manusia dan kehormatan profesi medis, demi keberlangsungan sistem kesehatan yang adil dan beradab.






