Depok – Gelombang desakan publik terhadap transparansi dan efisiensi anggaran daerah terus menguat. Isu tunjangan perumahan anggota DPRD Depok menjadi sorotan setelah masyarakat menilai besaran tunjangan tersebut terlalu fantastis. Berdasarkan Peraturan Wali Kota (Perwal) Depok Nomor 97 Tahun 2021, besaran tunjangan yang diterima adalah Rp47,1 juta per bulan untuk Ketua DPRD, Rp43,1 juta untuk Wakil Ketua DPRD, dan Rp32,5 juta untuk setiap anggota DPRD.
Kegelisahan publik memicu rencana demonstrasi besar pada awal September 2025. Namun, rencana aksi yang sedianya berlangsung pada 3 September itu batal digelar setelah pertemuan antara Wali Kota Depok, Supian Suri, dengan perwakilan masyarakat dan Ketua DPRD Ade Supriyatna. Pertemuan menghasilkan kesepakatan untuk mengevaluasi aturan tunjangan agar lebih sesuai dengan asas kewajaran dan kebutuhan masyarakat.
Salah satu penggerak utama aksi ini adalah Adam, koordinator lapangan yang juga dikenal sebagai bagian dari tim sukses Wali Kota Depok. Ia menyerukan penghapusan tunjangan perumahan DPRD dan berhasil memobilisasi masyarakat luas. Semangatnya mencerminkan apa yang pernah diungkapkan Tan Malaka, bahwa “idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda.”
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Idealisme Pemuda versus Politik Transaksional
Konteks ini tidak bisa dilepaskan dari realitas politik Indonesia. Ian Wilson dalam bukunya Politik Jatah Preman menggambarkan bagaimana demokrasi pasca-Orde Baru sering kali dikendalikan oleh transaksi politik. Mobilisasi massa dalam pemilu lebih banyak digerakkan oleh uang, hadiah, atau sembako, bukan oleh gagasan dan dialektika seperti di masa awal kemerdekaan.
Fenomena mahalnya biaya politik tercermin dari banyaknya anggota DPRD yang harus menggadaikan SK keanggotaan ke bank demi menutup biaya kampanye. Aktivis dengan keterbatasan dana semakin sulit masuk ke panggung politik formal. Akibatnya, wajah politik lebih didominasi oleh pengusaha, artis, dan figur bermodal besar.
Sejarah Pemuda Progresif: Inspirasi Perubahan
Di tengah realitas politik yang pragmatis, sejarah menunjukkan peran vital pemuda progresif revolusioner sebagai motor perubahan bangsa. Dari peristiwa Rengasdengklok hingga mobilisasi massa di Lapangan Ikada 19 September 1945, pemuda tampil sebagai pendobrak status quo.
Figur seperti Brigjen (Purn.) Daan Yahya, yang konsisten berpihak pada rakyat hingga terlibat dalam Petisi 50 tahun 1980, menjadi contoh nyata pemuda yang berani melawan kekuasaan demi kepentingan publik.
Menurut sejarawan JJ Rizal, pemuda progresif berbeda dengan pemuda “bapakisme” yang lebih mementingkan privilese. Pemuda progresif selalu berpikir jauh ke depan, membawa aspirasi rakyat, dan menolak kompromi atas prinsip.
Tantangan dan Jalan ke Depan
Pertanyaan krusial muncul: bagaimana pemerintah pusat dan daerah menghadapi gelombang idealisme pemuda di tengah realitas politik yang serba transaksional?
Jawaban utamanya adalah pengetahuan. Pemuda harus dipersenjatai dengan literasi sejarah, politik, dan gagasan kebangsaan. Membaca karya-karya pendiri bangsa seperti Madilog (Tan Malaka), Di Bawah Bendera Revolusi (Soekarno), dan tulisan-tulisan Sutan Sjahrir akan membentuk daya kritis yang tajam.
Di sisi lain, pemerintah—termasuk Pemkot Depok—perlu menyediakan ruang dialektika terbuka. Forum-forum diskusi resmi antara pejabat daerah dan pemuda harus digelar, bukan sekadar meredam aksi massa. Dialektika inilah yang bisa menghasilkan solusi konstruktif untuk pembangunan yang lebih partisipatif.
Penutup
Kasus tunjangan perumahan DPRD Depok menunjukkan benturan antara idealisme rakyat dan realitas politik yang sarat pragmatisme. Pemuda, dengan idealismenya, kembali berada di garda terdepan memperjuangkan keadilan. Namun tanpa reformasi sistem politik dan budaya partisipasi masyarakat yang sehat, harapan melahirkan pemimpin yang benar-benar hidup seperti rakyat masih sebatas cita-cita.
Sejarah mengajarkan, perubahan selalu datang dari keberanian pemuda. Kini, tantangannya adalah bagaimana mengawal idealisme itu agar tidak terjebak dalam arus politik transaksional yang masih kuat menguasai panggung demokrasi Indonesia.
Oleh: Novita Sari Yahya – Penulis dan Peneliti
Penulis buku: Romansa Cinta, Padusi: Alam Takambang Jadi Guru, Novita & Kebangsaan, Makna di Setiap Rasa, Siluet Cinta, Pelangi Rindu, Self Love: Rumah Perlindungan Diri
Kontak: 089520018812 | Instagram: @novita.kebangsaan






