Oportunisme, Kemunafikan, dan Korupsi di Indonesia
Tulisan ini saya susun ketika mendengarkan podcast sejarawan Anhar Gonggong terkait penetapan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook dalam Program Digitalisasi Pendidikan 2019–2022. Kasus ini diumumkan Kejaksaan Agung pada Kamis, 4 September 2025.
Nadiem Makarim dan Ketidakjujuran dalam Sistem Pendidikan
Menurut Anhar Gonggong, Nadiem telah merusak sistem pendidikan nasional. Inkonsistensinya mencerminkan ketidakjujuran antara ucapan, tindakan, dan pemikiran.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ironis, Nadiem yang gencar mengusung gagasan Merdeka Belajar justru menjadi satu-satunya Menteri Pendidikan dalam sejarah Indonesia yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Media kerap mengangkatnya sebagai figur sukses karena mendirikan ojek online, namun rekam jejaknya di dunia pendidikan justru berakhir dengan kontroversi hukum.
Dalam podcast, Anhar juga menyebut bahwa selama menjabat, Nadiem tidak pernah berkunjung ke universitas untuk berdialog dengan civitas akademika. Lebih jauh, rencana penggelembungan anggaran pengadaan laptop bahkan sudah disiapkan sebelum ia resmi menjadi menteri.
Ungkapan populer “ikan busuk mulai dari kepalanya” menggambarkan lemahnya kepemimpinan strategis yang tidak berlandaskan standar terukur maupun mekanisme check and recheck.
Lemahnya Standar Kepemimpinan Publik
Hingga kini, tidak ada standar baku dalam pengangkatan pejabat di pusat maupun daerah. Proses seleksi menteri, kepala daerah, hingga legislatif sering tidak disertai indikator jelas, bahkan tes sederhana seperti pemeriksaan narkoba berkala pun jarang dilakukan.
Akibatnya, Indonesia terus menuai kasus korupsi. Data menunjukkan:
- 
162 bupati/walikota dan 24 gubernur terjerat korupsi sejak 2004 (data KPK hingga 2022). 
- 
766 anggota DPR/DPRD tersangkut kasus sejak 2004 hingga Juli 2023. 
- 
468 pejabat BUMN (termasuk 84 direktur) terlibat korupsi, sebagian besar pada 2016–2021. 
- 
8–10 menteri di era Presiden Jokowi (2014–2024) tersangkut kasus korupsi. 
Fenomena ini memunculkan pertanyaan: apakah motivasi korupsi semata demi materi dan biaya politik, atau karena sistem yang salah hingga mendorong perilaku menyimpang?
Kasus Nadiem semakin janggal mengingat latar belakangnya sebagai CEO perusahaan ojek online dengan pemasukan fantastis (sekitar Rp50 miliar per hari, berdasarkan net revenue GoTo Group Rp18,1 triliun pada 2024). Namun, ia tetap terseret dalam kasus kerugian negara hingga Rp1,98 triliun.
Kemunafikan dan Budaya Feodalisme dalam Masyarakat
Budaya kemunafikan dan feodalisme telah lama melekat dalam karakter bangsa.
- 
Mochtar Lubis (1977) menyebut masyarakat Indonesia cenderung munafik—tidak konsisten antara ucapan dan tindakan. 
- 
Rosihan Anwar menilai masyarakat Indonesia bermental petit bourgeois, materialistis, dan gemar pamer kekayaan. Fenomena flexing pejabat di media sosial memperkuat kecemburuan sosial. 
- 
Sutan Sjahrir menyoroti budaya feodal yang membuat masyarakat cenderung menghamba pada penguasa. 
Akibat budaya ewuh pakewuh (sungkan), praktik korupsi kerap dibiarkan. Melobi, menyelipkan amplop, atau “menyantuni pejabat” dianggap hal wajar.
Julia I. Suryakusuma dalam disertasi State Ibuism (1988) menggambarkan fenomena bapak-ibuisme pada masa Orde Baru, di mana kekuasaan dipersonifikasikan layaknya figur “raja”. Pasca-reformasi, muncul “raja-raja kecil” di daerah dengan praktik serupa.
Akar sejarahnya bahkan bisa ditelusuri ke masa kolonial Belanda melalui sistem tanam paksa (cultuurstelsel), yang diekspos oleh Multatuli dalam novel Max Havelaar (1860). Pola eksploitasi itu kini menjelma dalam bentuk korupsi modern.
Reformasi Sistem Rekrutmen Pejabat Publik
Untuk melawan budaya korupsi, reformasi rekrutmen pejabat publik mutlak dilakukan. Beberapa contoh sistem seleksi yang relatif lebih baik:
- 
Komnas Perempuan (2025–2030): pendaftaran dengan persyaratan ketat, seleksi administrasi, penilaian rekam jejak, hingga proses final menghasilkan 11 komisioner terpilih. 
- 
KPK (2024–2029): seleksi calon pimpinan dan dewan pengawas melibatkan asesmen, tes tertulis, wawancara motivasi, dan uji kelayakan DPR. 
Namun, kritik tetap muncul karena penelusuran rekam jejak dianggap kurang ketat. Di sisi lain, rekrutmen pejabat legislatif dan eksekutif daerah masih sepenuhnya bergantung pada partai politik, yang rawan nepotisme.
Untuk memperbaiki sistem, diperlukan:
- 
Tes integritas yang meliputi IQ, EQ, dan SQ. 
- 
Fit and proper test terbuka. 
- 
Verifikasi ijazah dan riwayat pengabdian. 
- 
Pernyataan antikorupsi yang mengikat secara hukum. 
Tanpa standar ini, publik hanya akan terjebak dalam “branding media sosial” kandidat, bukan kualitas nyata mereka.
Ketidakjujuran, kemunafikan, dan budaya feodalisme telah menjebak bangsa ini dalam lingkaran korupsi. Diperlukan perubahan sistemik melalui pendidikan karakter, penguatan institusi, dan reformasi rekrutmen pejabat publik agar Indonesia mampu keluar dari belenggu tersebut.
Novita Sari Yahya
Penulis & Peneliti | Penulis buku:
- 
Romansa Cinta 
- 
Padusi: Alam Takambang Jadi Guru 
- 
Novita & Kebangsaan 
- 
Makna di Setiap Rasa (Antologi 100 Puisi) 
- 
Siluet Cinta, Pelangi Rindu 
- 
Self Love: Rumah Perlindungan Diri 
📱 Kontak Buku: 089520018812
📸 Instagram: @novita.kebangsaan

 
					





 
						 
						 
						 
						